Mengapa Indonesia Berpotensi Menjadi Kiblat Peradaban (Seni) Tertua di Dunia?
Bambang Muryanto

Menara-menara karst berujung runcing yang tak terhitung jumlahnya berdiri tegak di kawasan karst (kapur) Sangkulirang Mangkalihat di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Hampir seluruh tubuhnya yang kokoh itu berbalut “jubah” hijau, tertutup aneka jenis tumbuhan. Kawasan sekitar 1,8 juta hektar itu adalah daerah tangkapan hujan yang menjadi hulu dari lima sungai.

Tersembunyi di dalam “perutnya”, ada goa-goa yang pernah menjadi rumah bagi manusia purba. Ahli geologi dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Yogyakarta, Nandra Eko Nugroho mengatakan goa di kawasan karst terjadi karena proses pelarutan, pelapukan, dan erosi dari air hujan. Di kawasan tropis, proses ini berlangsung lebih cepat.

Lukisan figuratif banteng Borneo di situs Lubang Jeriji Saleh. Foto: Dok. Luc-Henri Fage, www.fage.fr diakses melalui www.kalimanthrope.com

“Jadi kawasan karst di wilayah khatulistiwa itu lebih berpotensi dalam mendukung ekosistem kehidupan manusia. Makanya rumah-rumah orang dari zaman dulu adalah goa,” ujarnya. Kompas 4 November 2014 mencatat ada penemuan perkakas milik manusia purba di Sangkulirang Mangkalihat. Ada lancipan dan jarum dari tulang, cangkang kerang untuk hiasan, dan fragmen gerabah. Ini menunjukkan manusia purba juga sudah mengenal kebudayaan.

Sedangkan di goa (situs Lubang Jeriji Saleh) di kawasan karst itu juga ditemukan hiasan berupa lukisan di tembok goa. Ada gambar binatang (zoomorphic) yang diduga adalah banteng Borneo dan tangan (hand stencil). Hingga saat ini, masyarakat masih bisa menyaksikan gambar-gambar itu di situs Lubang Jeriji Saleh. Setelah tidak menjadi hunian manusia purba, goa itu menjadi “galeri” yang memamerkan keindahan seni rupa pada puluhan ribu tahun lalu. “Galeri” tanpa kurator itu juga ditemukan di goa-goa di kawasan karst lainnya, seperti di Maros, Sulawesi Selatan.

Saat Kota Malang sering diguyur hujan, Guru Besar Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (UI), Cecep Eka Permana membacakan pidato kebudayaan untuk menutup even Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke-12 yang bertema “Dari Ganesa Sampai Sastra Artificial Intelligence”. Dalam naskah pidato berjudul, “Membaca Ulang Seni Indonesia Purba: Gambar Cadas di Goa-Goa Maros, Sulawesi-Sangkulirang, Kalimantan”, ia mengatakan gambar-gambar pada dinding goa-goa itu adalah wujud dari gambar cadas atau rock art, Senin (27/11).

Luc-Henri Fage, seorang fotografer, wartawan, ilustrator, sutradara film dokumenter, dan penjelajah asal Paris, Prancis. Sedang mempelajari lukisan di Gua Tewet, 2003. Foto: Dok. S. Caillault diakses melalui (https://www.kalimanthrope.com/)

Rock art adalah lukisan atau pahatan yang dibuat pada batu alamiah yang masih melekat pada batuan induknya, baik berada di tempat terbuka atau tertutup,” ujarnya di auditorium lantai 9, Universitas Negeri Malang.

Sebagai arkeolog, Cecep sudah tidak asing dengan seni purba. Sekitar 30 tahun lalu saat masih menjadi asisten di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (PPKB-LPUI), ia pernah diminta Edi Sedyawati (Guru Besar Arkeologi di UI) untuk menggambar ulang lukisan gua prasejarah dari karya legendaris Claire Holt yang berjudul Art in Indonesia Continuities and Change. Gambar ini untuk melengkapi karya tulis Edi yang berjudul, “The Sun in Indonesia Culture” yang dimuat dalam buku berjudul, The Sun in Myth and Art terbitan UNESCO.

Selanjutnya, Cecep meneliti seni Indonesia pada masa purba untuk disertasinya. Aktivitas ini memberikan peluang dirinya melihat sendiri lukisan-lukisan gua prasejarah yang dibahas Edi. BWCF ke-12 sendiri diadakan untuk menghormati dedikasi Edi Sedyawati dalam dunia arkeologi, khususnya soal penelitiannya tentang arca ganesa. “Lukisan goa yang saya gambar itu, saya lihat langsung di Pulau Arguni, Papua Barat,” ucapnya.

Lukisan tangan di gua Lubang Jeruji Saleh. Foto: Dok. Luc-Henri Fage www.fage.fr diakses melalui www.kalimanthrope.com

Mengutip dari penelitian dari Maxime Aubert dkk yang berjudul “Paleolithic Cave Art in Borneo” (Jurnal Nature volume 564, November 2018), Cecep mengatakan usia coretan tangan berwarna merah jingga di situs Lubang Jeruji Saleh diperkirakan berumur 37.000 tahun. Sedangkan gambar banteng borneo diperkirakan berusia lebih tua, 40.000 tahun. Dan paling tua adalah gambar coretan tangan yang abstrak, diperkirakan berusia maksimal 51.800 tahun!

Sementara itu gambar babi kutil dan anoa banyak ditemukan menghiasi goa-goa di Maros, Sulawesi Selatan. Gambar babi kutil di Leang Tedongnge diketahui berusia 45.500 tahun. Pengukuran usia dilakukan dengan metode uranium series, yaitu mengukur usia endapan kalsit yang secara alami menutupi karya gambar cadas itu.

Cecep Eka Permana memberikan pidato “Membaca Ulang Seni Indonesia Purba: Gambar Cadas di Goa-Goa Maros, Sulawesi-Sangkulirang, Kalimantan”, dalam gelaran Borobudur Writers and Cultural Festvial (BWCF). Foto. Dok. Penulis

“Pengukuran usia diperoleh pada lapisan kalsit dekat gambar kuku kaki bagian belakang,” ujar Cecep. Ia juga menyitir penelitian Maxim Aubert dkk yang berjudul, “Pleistocene Cave Art from Sulawesi, Indonesia” yang menyatakan usia gambar tangan di Leang Timpuseng, Maros minimal berusia 39.900 tahun. Penelitian ini dipublikasikan dalam Jurnal Nature volume 514, Oktober 2014.

“Hasil publikasi ini menunjukkan temuan hasil budaya gambar cadas di Maros merupakan tertua di dunia,” tegasnya. Dengan berbagai fakta itu, Cecep berpendapat peradaban manusia tertua itu ada di kawasan Nusantara yang menjadi wilayah Negara Indonesia. Tentu saja fakta ini mengeliminasi temuan sebelumnya yang menyatakan peradaban manusia tertua ada di Eropa.

Cecep Eka Permana memberikan pidato “Membaca Ulang Seni Indonesia Purba: Gambar Cadas di Goa-Goa Maros, Sulawesi-Sangkulirang, Kalimantan”, dalam gelaran Borobudur Writers and Cultural Festvial (BWCF). Foto. Dok. Penulis

Bila ditelusuri, situs science.org (11 April 2016) memberitakan lukisan cadas paling tua di Eropa berada di goa Chauvet-Pond d’Arc di Perancis bagian tenggara. Penelitian terbaru menemukan usianya diperkirakan sekira 36.600 tahun. “Dengan data dan fakta gambar cadas di Maros dan Mangkalihat di atas 40.000 tahun, mestinya kiblat peradaban seni tertua di dunia pindah ke Indonesia. Kita patut berbangga atas capaian peradaban tinggi ini,” ucapnya tegas.

Powered by
Supported by