Surabaya Dikepung Raksasa: Arak-Arak, Midnight Haze and the Drifting Flocks
Eugenia

Surabaya sedang panas-panasnya…

Saya pertama kali mendengar kabar kedatangan ARTJOG lima bulan lalu, bertepatan dengan digelarnya ARTSUBS —pameran seni rupa kontemporer yang digadang-gadang sebagai yang “terbesar di Surabaya, bahkan bisa dibilang terbesar se-Indonesia… lebih besar daripada ARTJOG dan Art Jakarta” (Jawapos, 28 Oktober 2024). Sebuah pernyataan yang tak main-main.

Surabaya, kota yang ekosistem seninya sering dianggap “pelik” dan berada di batas luar pusaran seni rupa nasional, tiba-tiba menjadi pilihan lokasi seksi bagi ARTJOG untuk menggelar pra-acaranya. Pilihan itu, menimbulkan banyak “kenapa” yang mengambang dalam obrolan

Setelah itu, nyaris tak terdengar apa pun. Seolah Artjog hanya singgah sebentar dalam bisik-bisik ekosistem seni rupa Surabaya. Sampai akhirnya, sebulan sebelum pameran digelar, Artchemist—kolektif tempat saya bernaung—diundang untuk pertama kali bersua dengan tim ARTJOG.

Lalu, dimulailah pekerjaan penuh huru-hara sebagai mitra program. Bukan sekadar membantu penyelenggaraan, tetapi–lebih tepatnya–membantu menciptakan kegaduhan, agar Road to ARTJOG ini menjadi perbincangan. Kami diminta menjadi pengacau yang terkontrol: membangun perbincangan, menggiring atensi, dan menjembatani komunitas seni serta publik Surabaya. Atau, jika boleh jujur, lebih mirip menjadi akses pintu belakang bagi ARTJOG memasuki ekosistem yang selama ini jarang mereka jamah.

Di tengah hawa panas penuh kecurigaan, ARTJOG terus berusaha memoles niatnya: mengarak publik Surabaya menuju gelaran utama ARTJOG – MOTIF: Amalan. Sekaligus, katanya, menjalin hubungan dengan para pekerja seni lokal. “Semoga pameran Arak-Arak dapat mengawali perjumpaan dengan arek-arek,” begitu ucap Gading Paksi dalam slametan sehari sebelum pembukaan. Manis sekali positioning-nya. Terlalu manis, mungkin.

Foto pengunjung di depan teks kuratorial. Foto: Dok. Rajiv

Keberuntungan bagi ARTJOG bahwa ARTSUBS telah lebih dulu hadir sebagai preseden. Tanpa itu, mungkin ARTJOG tak akan begitu berhati-hati agar tidak sekadar datang lalu asyik sendiri. Meskipun persiapannya berlangsung dalam tempo yang terburu-buru, ARTJOG tetap mengambil jalur panjang dengan menggandeng komunitas lokal—usaha menghindari pola parachuting, strategi khas festival besar yang sekadar mampir tanpa membaca atau merespon konteks lokal.

Jika memang begitu amalannya, lantas mengapa pengerjaannya terasa tergesa-gesa? Relasi macam apa yang bisa terbentuk dalam waktu super instan? Jangan-jangan ARTJOG pun tak kebal dari budaya kerja mepet, seperti yang kerap mewarnai kerja kesenian yang saya kenal. Ataukah ini bentuk kejumawaan yang diam-diam beroperasi? Keyakinan bahwa publik akan otomatis datang berduyun-duyun, terpikat hipnotis gemerlap nama besar dan logo biru itu?

Lebih lagi, mereka menggandeng Jompet Kuswidananto, seniman kawakan dengan rekam jejak internasional. Terlihat sederhana, seperti rumus instan pameran: pasang karya, tempel logo ARTJOG, duduk manis menunggu kerumunan. Selesai.

Namun kenyataan di lapangan tak seindah itu. Nama-nama besar tersebut ternyata belum sepenuhnya meresap ke telinga warga Surabaya. ARTJOG hanya akrab bagi segelintir tongkrongan gaul Tunjungan. Bahkan, Jompet sendiri masih terdengar asing bagi sebagian besar mahasiswa seni—apalagi publik umum. Wajar saja, ini pertama kalinya mereka berpameran di kota ini. Maka, keterlibatan Artchemist untuk turut meramaikan pameran tak semudah yang dibayangkan.

Suasana pembukaan pameran Arak-Arak. Foto: Dok. Morria

Pameran tunggal Jompet Kuswidananto dengan penulis Ayos Purwoaji, bertajuk “Arak-Arak: Midnight Haze and the Drifting Flocks”, digelar di Pasar Tunjungan pada 18 April hingga 3 Mei 2025. Pameran ini memetakan dua dekade perjalanan artistik Jompet, dari 2001 hingga 2025—merangkai ulang fragmen sejarah, perlawanan, dan koreografi kerumunan dalam lanskap kota yang riuh dan penuh ingatan.

Basuri bus Sugeng Rahayu sudah menyalak! Entah ikut naik, nyetir, atau turun di tengah jalan—pilihan ada di tanganmu!

Ode & Obituarium untuk Surabaya & Tunjungan

Diskursus tentang ruang seni di Surabaya selalu panjang dan berulang. Konon jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan—begitu yang saya dengar sejak pertama kali terjun dalam ekosistem seni kota ini, pada 2019. Namun, sejak saat itu, saya justru berkali-kali menyaksikan helatan seni yang gila-gilaan: pameran di warung kopi, galeri di dalam pabrik yang masih beroperasi, lokakarya di kampung, hingga performance art di taman.

Ruang seni, ternyata, bukan sekadar bangunan dengan label galeri. Ia bisa dibentuk, diaktivasi di mana saja. Ketika perspektif ini tumbuh, mata kita menjadi lebih jeli—dan batas-batas ruang seni pun melebur. Dan Surabaya telah mengakrabi cara itu, jauh sebelum ARTJOG datang.

Kondisi Pasar Tunjungan Lt. 3 ketika survey PARTSY, 3 Oktober 2024. Foto: Dok. Penulis

Seperti umumnya kota besar, Surabaya menyimpan gedung-gedung mangkrak. Bangunan kosong yang menganga di tengah kota—eks-mal, eks-ruko, eks-perkantoran, eks-ambisi pembangunan. Ruang-ruang ini menyimpan potensi yang luar biasa untuk dihidupkan kembali.

“Malam itu juga, saya diam-diam masuk ke Pasar Tunjungan. Masih [tertutup] rolling door. […] Saya diam-diam ke sana, dengan membawa HP, kali aja menemukan sesuatu, [mendapatkan] bisikan sesuatu. Itu luar biasa energinya. Saya langsung kebayang, wah, ini yang saya cari.” — Heri Pemad, 19 April 2025 (Temu Media Arak-Arak).

Banyak yang terperangah dengan keputusan ARTJOG memilih lokasi Pasar Tunjungan. Seolah mereka membawa terang ke ruang yang sebelumnya luput dari perhatian. Padahal, bagi sebagian dari kami, kekaguman terhadap tempat ini sudah lama tumbuh. Pasar Tunjungan telah mengambil banyak hati.

Saya sendiri pernah tiga kali melakukan survei ke sini, bersama tim yang berbeda, untuk proyek seni yang juga berbeda. Kami merasakan gairah yang kurang lebih sama seperti yang digambarkan Pemad. Namun, semangat kami kerap terbunuh oleh realitas ongkos produksi yang tak main-main.

Dari tiga tim yang pernah survei bersama saya, hanya satu yang cukup edan untuk benar-benar menggarap ruang ini—ruang yang kotor, atapnya rompal, penuh debu, dan seram bukan main. Tapi bisikannya… sial, bisikannya sungguh menggoda.

Sebelum tim preparator ARTJOG datang, tangan-tangan dari kolektif Ruangan Samping sudah lebih dulu turun tangan—mengepel lantai yang mengerak oleh waktu. Tanpa alat canggih, ruang itu tetap dalam kondisi setengah hancur. Namun, PARTSY—pameran seni rupa yang kami gelar waktu itu—tetap berlangsung: dengan keringat membasahi tubuh, debu menyesaki paru-paru, dan lutut gemetar karena naik-turun tiga lantai.

Kalau kamu melihat sekelompok pengunjung yang sibuk menunduk terkesima melihat lantai kinclong ARTJOG, kemungkinan besar mereka adalah panitia PARTSY. Kami hanya memakai setengah ruangan, dan ruang itu masih terasa luas—diisi oleh sepuluh karya dari sepuluh seniman lintas disiplin. Pasar Tunjungan punya kapasitas untuk tetap menjadi rumah bagi berbagai kegiatan seni, seperti yang sudah-sudah.

Lantas, kita digiring menuju pertanyaan yang lebih mendalam: ketika institusi besar menjarah ruang-ruang alternatif, apakah mereka benar-benar membuka akses lebih luas, atau justru mempersempitnya?

Ada risiko gentrifikasi—di mana ruang-ruang bermain seniman dan kolektif independen berubah menjadi etalase prestise, semakin mahal dan sulit dijangkau. Tapi di sisi lain, kehadiran mereka bisa menjadi katalis, mengenalkan ruang-ruang seni alternatif kepada penonton awam.

Namun, pertanyaannya tetap terbuka: apakah ini tentang aksesibilitas, atau hanya soal pengemasan ulang?

Amalan sebagai Lamaran, Melihat Siasat Raksasa ARTJOG Meramal Surabaya

Tim ARTJOG memahami betul bagian mana yang perlu dirapikan, bagian mana yang dibiarkan ala kadarnya, serta bagian mana yang justru perlu diperkuat. Bilah-bilah kayu dibiarkan menumpuk, kaca buram tetap bernapas dalam debu, lembaran seng berkarat berdiri menggantikan panel putih bersih ala galeri—sementara lampu merah dan biru menyinari langit-langit reyot, seolah memberi panggung bagi kebobrokan itu sendiri.

Atap reyot Pasar Tunjungan yang disorot lampu biru dan merah. Foto: Dok. Penulis

Bagi saya, yang selama ini hanya melihat karya Jompet Kuswidananto di galeri white cube, ruang ini seakan menghembuskan nyawa baru padanya.

Di bawah plafon yang rapuh, kerentanan, kecemasan, dan rasa urgensi dalam karya-karya Jompet—entah tentang kontrol, rezim, atau kebebasan—teramplifikasi. Ketika bias cahaya dari “Personal History of Mysticism” menyorot tembok yang berjamur, mengelupas, dan menguning, karya itu menjelma menjadi begitu intim. Seakan memori personal Jompet telah mengendap, tertanam dalam dinding, dan menua bersamanya—sebagaimana ingatan yang melekat pada gedung mangkrak ini.

Saat berbincang dengan Jompet, ia mengaku memperhatikan banyak sekali detail. Meskipun karyanya tampak masif dan chaotic, ia tetap mengorkestrasi setiap elemen.

Pada “On Paradise #2” (2025), misalnya, Jompet menyusun ulang tiap beling dan lightbulb dari chandelier yang hancur. Improvisasi yang merespons ruang menjadi bagian integral dari pendekatannya—seperti saat ia menggeser salah satu figur dari kerumunan “After Voices” (2016) untuk berdiri sendiri, menempel fragmen “Personalized History of Mysticism” (2013) di belakang tumpukan speaker, atau menambahkan pecahan chandelier ke “Subterranean Thunder” (2023).

Transisi adalah hal mendasar bagi Jompet—merancang tangga dramatika yang bersambung dan hiperbolis, menciptakan keterhubungan antar narasi. Setiap karyanya tidak berdiri sendiri. Tidak berhenti. Ada jaringan cerita yang terus berlanjut.

Berbanding terbalik dengan penataan karya yang penuh pertimbangan, peletakan caption justru terasa seadanya. Banyak pengunjung kesulitan melacak posisi teks karena diletakkan tersembunyi, berjarak dari karya. Bagi mereka yang berhasil menemukannya, pencahayaan yang kurang tepat justru membuat teks sulit dibaca—terhalang bayangan tubuh sendiri.

Plang LBB Tennos dengan arah panah menuju “Personalized History of Mysticism” (2023). Foto: Dok. Penulis

Sungguh disayangkan, terutama ketika cukup banyak pengunjung yang tampak antusias ingin menggali konteks narasi karya lebih dalam—sesuatu yang seharusnya menjadi pintu masuk penting bagi pengalaman mereka dalam pameran ini.

Hal sepele ini bisa memiliki implikasi serius. Narasi karya Jompet cenderung berat dan dalam—bicara soal masa penjajahan, perjuangan kemerdekaan, Orde Baru—topik-topik yang barangkali asing bagi sebagian besar pengunjung muda.

Apalagi, mengingat anak kelahiran 2008 sudah bisa membuat KTP, ada generasi yang tumbuh tanpa pengalaman langsung terhadap peristiwa-peristiwa yang menjadi latar karya. Menurut Jompet, Ayos Purwoaji sebagai penulis berhasil mengaitkan karya dengan kondisi negara hari ini, dan sebagian gagasannya tertuang dalam caption.

Di luar bayangan saya, banyak murid SMA dan mahasiswa yang mengikuti tur kuratorial mampu dengan mudah menarik benang merah dengan kondisi politik hari ini. Tapi hal yang sama belum tentu terjadi pada mereka yang tidak mengikuti tur dan hanya mengandalkan caption.

Suasana “On Paradise #2” (2023) dihidupkan oleh mesin asap. Foto: Dok. Penulis

Sepanjang dua minggu pameran, Jompet Kuswidananto tak selalu hadir. Tapi kehadirannya tetap terasa—bukan secara mistis, tentu saja. Jompet selalu mengutak-atik karyanya, membentuk pengalaman yang terus berubah.

Di hari pembukaan, ia memilih untuk membiarkan genangan air akibat kebocoran dan tampias hujan deras. Alih-alih dianggap sebagai gangguan, genangan itu justru menciptakan refleksi cahaya yang memukau. Tiba-tiba, sepatu-sepatu bagus pengunjung yang menginjak becek tak lagi menjadi perkara—seolah menjadi bagian dari narasi ruang.

Di hari-hari terakhir, mesin asap ia geser ke area “On Paradise #2” (2025), menciptakan atmosfer yang membuat peristiwa pemberontakan petani Banten terasa seakan terjadi di hadapan pengunjung.

Saya membayangkan, jika Jompet mengunjungi pameran setiap hari, ia bisa membentuk pengalaman yang berbeda di setiap kunjungannya—sebuah pameran yang tidak pernah benar-benar selesai, selalu bergerak, selalu beradaptasi dengan ruang dan waktu.

Dua Karya Anyar Jompet Kuswidananto: Lagu untuk Biru, untuk Sejarahmu

Saat pertama kali menginjakkan kaki di ruang pamer untuk survei lokasi, Jompet berdiri diam di depan sebuah jendela. Dari kaca tebal yang berdebu, tampak Hotel Majapahit menjulang—saksi bisu peristiwa perobekan bendera Belanda, sebuah momen krusial dalam narasi heroik Kota Pahlawan.

Dari posisi itu, gagasan karya “Hymne of the Blue” (2025) lahir. Meski penataan ruang terus berubah mengikuti ritme kebocoran atap dan kontingensi lapangan, karya ini tetap dipasang persis di titik awalnya dirancang—seolah menegaskan bahwa sejarah memiliki tempatnya sendiri, tak bisa digeser begitu saja.

Karya ini berada dalam segmen pamungkas pameran, “Sejarah Kolosal dan Tubuh-Tubuh Terlupakan”. Ironisnya, karya yang sejak awal dirancang sebagai jangkar ruang justru berada di segmen yang paling lenggang.

Alih-alih dirancang hingga ke sudut-sudutnya seperti segmen lain, bagian ini justru menyisakan ruang ambigu—celah untuk melipir, mengatur napas setelah gempuran visual, atau bagi beberapa orang, diam-diam menyulut sebatang rokok.

Segmen ini mengangkat kembali tokoh perobekan bendera yang, alih-alih mengklaim tindakan heroiknya sebagai milik pribadi, justru menyatakan bahwa bendera itu dirobek oleh arek-arek Suroboyo.

Memang betul, tanpa kerumunan di sekitarnya, ia tak akan bisa sampai di puncak untuk merobek bendera. Segmen ini ingin bicara tentang mereka yang tak disebutkan dalam sejarah—pahlawan yang tak kita kenali namanya, tetapi tanpanya, kemenangan-kemenangan lain pun takkan bisa tercapai.

Pantulan “Hymne of the Blue” (2025) di jendela yang menghadap ke Hotel Majapahit Foto: Dok. Dika

Lima helai bendera biru terikat pada tali dengan mekanisme kinetis, naik dan turun layaknya upacara penaikan bendera. Mereka berkibar menjulang dengan latar Hotel Majapahit, lalu meluruh ke lantai—menjadi helaian kain semata.

Sebuah koreografi yang terasa khidmat—bagaimana sesuatu menjelma simbol, lalu kehilangan makna. Atau berubah rupa tanpa kita sadari. Barangkali, simbol-simbol kolonial sudah kita robek. Tetapi hari ini, mereka masih berkibar dalam wujud lain yang lebih sublim di sekeliling kita.

Karya site-specific ini bukan satu-satunya karya baru yang dihadirkan Jompet . Berjalan sedikit ke belakang, kita disuguhi video “Keroncong Kumbang Durjana” (2025). Di layar, tubuh-tubuh musisi mengayun-ayun, memainkan Tembang Kiasan—lantunan yang menyerupai keroncong klasik, tetapi menyimpan narasi gelap tentang kekerasan dan penjajahan. Lagu itu bercerita tentang seekor kumbang yang mencuri madu dari bunga melati—metafora kolonial yang mengekstraksi, menghisap, meninggalkan luka dalam keheningan.

Diselingi potongan arsip adegan perjuangan dan kekerasan, video ini cukup pendek, tetapi cukup untuk mengusik. Disandingkan dengan pertunjukan keroncong, ia menciptakan kontras—kekerasan menjadi latar samar dari lagu yang terus dimainkan di permukaan, manis dan penuh harmoni.

Sementara itu, pakaian putih bersih para musisi perlahan ternoda semburan merah darah—seakan menerima tembakan dengan legowo, tanpa jeritan dan hentakan. Gagasan karya ini disiapkan Jompet dari Yogyakarta, di mana mantan musisi rock itu menyimpan keinginan untuk berkolaborasi dengan musisi keroncong lokal.

Salah satu anggota Kelompok Keroncong Tombo Kangen, Arul Lamandau, yang selama ini lebih sering tampil sebagai pengiring suasana, kali ini wajahnya tampil di layar besar sebagai bagian dari karya Jompet. Syuting dilakukan hanya beberapa hari sebelum proses installing dimulai, langsung di lokasi pameran. Prosesnya cepat dan efisien—dua kali rekaman musik, tiga puluh menit uji alat semprot darah, satu sesi pengambilan gambar.

Semua selesai nyaris tanpa hambatan, bahkan sebagian alat semprot tidak sempat digunakan—seakan ada kekuatan magis yang menyertai. Tak berhenti di sana, proses syuting dikerjakan oleh kolektif Kecoak Timur, yang telah memiliki hubungan panjang dengan Jompet.

Salah satu anggotanya, Krismon Ariwijaya, sempat bekerja sebagai artisan Jompet. Salah satu garapannya bisa kita lihat di lukisan di atas rebana, “Far Travelled Murmur” (2023), yang dalam pameran ini hadir dalam “Sad Song Apocalypse” (2025).

Bukankah lagu “Rek Ayo Rek, Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan” yang kita kenal hari ini juga dipopulerkan oleh Mus Mulyadi? Lagu yang ringan dan jenaka, tetapi menuntun kita kembali ke jalan yang sama—Jalan Tunjungan, dan segala yang pernah terjadi di sana.

Menyudahi untuk Memulai?

Ketika ARTJOG berkunjung ke kotamu, apa yang semestinya dilakukan?

Barangkali kami memang Tim Hore—alat yang digunakan agar lebih diterima di ekosistem seni Surabaya, atau sekadar membuat statement. Di hadapan raksasa bernama ARTJOG, perlu diakui posisi kami memang lemah. Secara pengalaman, jejaring, logistik, dan lain-lain. Kecuali satu: artikulasi misuh.

Kami lebih fasih berkomunikasi dengan arek-arek. Dengan modal itu, kami menegosiasikan posisi—dan tentu saja berkompromi. Kami membuka jalan bagi ARTJOG  untuk masuk ke warga Surabaya. Tapi lewat jalan itu pula, kami membuka akses bagi warga Surabaya untuk menembus ARTJOG.

Seperti halnya Ayos Purwoaji merancang program elaboratif yang mengundang tokoh-tokoh lokal, kami juga berkolaborasi dengan banyak media—kecil maupun besar. Salah satunya Kecoak Timur, yang belakangan berniat menyeriusi podcast mereka, “Sementara Ngene Sek”.

Kaca buram yang dibiarkan berdebu di Pasar Tunjungan Lt. 3. Foto: Dok. Penulis

Di sela-sela itu, kenakalan Artchemist muncul dalam bentuk konten-konten mberot yang mengobrak-abrik citra elegan ARTJOG, menguji batas antara kolaborasi dan parodi. Sembari mengamati ritme kerja institusi, mengendus celah, berjejaring, pansos sekalipun. Membajak semua yang bisa diambil lewat kerja sama ini. Mengumpulkan amunisi.

Siapa tahu besok ketemu raksasa lain, kan? Sisanya, tinggal misuh saja.

Menavigasi kedatangan para raksasa ini sama sekali bukan hal yang sederhana. Apalagi ketika kota ini mulai jadi ajang kontestasi antar kekuatan besar. Di tengah lalu-lalang institusi dan nama besar yang membawa agenda masing-masing, bagaimana kerumunan lokal bisa dibaca tak hanya sebagai latar atau penonton, tetapi sebagai subjek yang aktif membentuk lanskap?

Bagaimana geliat seni rupa yang tumbuh masif di Surabaya bisa melakukan penetrasi narasi arus utama, bukan hanya menjadi sisipan semata?

Powered by
Supported by