Setali Tiga Uang: Ruang, Peristiwa, dan Nilai Seni
Ahmad Sulton

“Seni yang berhubungan dengan estetika itu intinya adalah eksplorasi kreativitas. Dan kreativitas tidak hanya dibatasi dengan hal yang artistik atau estetik saja” sepenggal kalimat ini merupakan pengantar Arahmaiani sebelum memulai presentasinya dalam sarasehan seni rupa bertajuk Ruang, Peristiwa, dan Nilai Seni. Acara yang berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada kamis, 4 Mei 2023 ini, menghadirkan tiga pembicara yaitu, Suwarno Wisetrotomo, Arahmaiani, St Oyik Eddy Prakoso, serta Rain Rosidi sebagai moderatornya.

Sepenggal kalimat tersebut menjadi gapura pembuka dari arah jalannya sarasehan sore itu. Berpijak pada kamejemukan nilai seni, sarasehan ini mencoba membicarakan nilai karya seni yang tidak hanya terukur dari mutu artistik. Relevansi antara ruang, peristiwa, dan nilai seni dibicarakan secara bergiliran untuk menyibak unsur-unsur semacam apa yang terkandung dalam nilai dari sebuah karya seni.

Arahmaiani berkesempatan mendapatakan giliran pertama mempresentasikan materinya. Dia sendiri adalah seorang seniman multi disiplin, karyanya merentang dari lukisan, seni pertunjukan, dan instalasi. Isu kemanusiaan, lingkungan, dan agama menjadi tema utama karya Arahmaiani.

Arahmaiani (62), seniman senior, tengah membuka presentasinya pada sarasehan seni rupa Ruang, Peristiwa, dan Nilai Seni 4 Mei 2023 di Taman Budaya Yogyakarta. (Foto: Penulis)

Dalam proses berkarya Arahmaiani banyak terlibat dan melibatkan berbagai macam komponen masyarakat. Baginya partisipatoris menjadi elemen penting hingga karya yang dibuat tidak cukup berhenti menjadi “benda” semata, melainkan menyublim serupa energi mengaktifasi kegiatan masyarakat di mana sebuah karya itu dibuat.

Proses semacam itu menempatkan masyarakat sebagai bagian vital karya Arahmaiani. Bukan sekedar keberangkatan berkarya, lebih dari itu masyarakat mendapatkan posisi sebagai kolaborator. Karya seni yang dibuat dengan proses tersebut besar potensinya akan menemukan fungsi konkret dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, karya Arahmaiani yang dibuat melalui model tersebut lebih berfungsi sebagai pemantik dari lahirnya berbagai macam peristiwa di lingkungan sosial.

Peristiwa kemudian menjadi kemungkinan baru yang dapat dieksplorasi Arahmaiani bersama karyanya. Berbagai macam peristiwa unik di sekeliling proses berkarya menambah kompleksitas nilai di tubuh sebuah karya, lebih dari sekedar penilaian artistik semata. Hal ini persis seperti yang diucapkan Arahmaiani untuk membuka presentasinya.

Arahmaiani, bercerita tentang karya dan proses berkaryanya. (Foto: Penulis)

Dalam presentasi singkatnya, Arahmaiani berbagi cerita tentang karya dan proses berkaryanya. Salah satu karya yang menarik adalah proyek “Flag”, karya ini dibuat tahun 2006, berproses hingga sekarang. Berbentuk bendera warna-warni berisi tulisan-tulisan arab gundul. Dalam pembuatan karya ini, Arahmaiani bekerjasama dengan berbagai macam komunitas masyarakat mulai dari, Tibet, Jerman, Singapore, Jepang, dan Yogyakarta.

Ide karya itu sendiri dicari bersama komunitas masyarakat yang sering kali berupa permasalahan dan isu yang dihadapi sehari-hari oleh mereka. Isu tentang alam, permasalahan sosial, politik, agama yang ditemui kemudian dituliskan menggunakan arab gundul dalam bendera warna-warni. Proses selanjutnya Arahmainai bersama warga akan melakukan perform menggunakan bendera-bendera itu. Karya semacam ini bernilai lebih luas dari sekadar keteknisan belaka, jika proyek “flag” tidak mengalami berbagai macam peristiwa bersama warga karya ini hanya akan menjadi bendera kain biasa.

Presentasi selanjutnya diisi oleh ST Oyik Eddy Prakoso. Sebagai pemilik sekaligus pengelola galeri Srisasanti. Galeri ini telah berjalan cukup lama dan bekerjasama dengan banyak seniman. Kehadiran galeri Srisasanti sangat dipertimbangkan dalam ekosistem seni rupa di Yogyakarta, bahkan Indonesia. Sebab, sekarang galeri yang bertempat di Tirtodipuran ini sangat progresif menampikan seniman-seniman muda penuh potensi. Beberapa program dan ruang difokuskan hanya untuk menampung bakat-bakat baru dari seniman muda. Hal ini mengindikasikan sebagai Galeri komersil juga membuka kemungkinan-kemungkinan baru serta tidak hanya berpatron pada kepentingan pasar yang acap kali hanya menilai karya seni secara sempit, bahkan bersifat kolot. Seniman-seniman kondang mentereng namanya di pasar mendapatkan porsi adil ketika dihadapkan dengan segala kemungkinan semacam itu.

St Oyik Eddy Prakoso, pendiri Srisasanti Syndicate dan Galeri Srisasanti -Tirtodipuran Link-, mendapatkan kesempatan mempresentasikan materinya setelah Arahmaiani. (Foto: Penulis)

Membuka diri terhadap pentingnya kemandirian ekonomi dijadikan tema pembuka Oyik untuk memulai presentasinya. Sebagai praktisi, terlihat jelas materi yang disampaikan Oyik untuk membahas tentang nilai ekonomi karya seni berdasarkan kerja-kerjanya selama ini. Hal ini tentu dapat membuka prespektif baru mengingat pendidikan seni di Yogyakarta masih minim pembahasan tentang nilai ekonomi dan usaha-usaha kreatif guna pemenuhan kemandirian ekonomi seorang seniman.

Nilai ekonomi sebuah karya seni menurut Oyik dipengaruhi oleh 2 hal mendasar, yang dalam presentasinya dinamai sebagai “nilai fundamental”. Poin pertama adalah kemampuan teknis seorang seniman. Keindahan secara estetika visual menjadi hal mutlak dipelajari oleh seniman seni rupa. Keteknisan pun wajib diasah oleh seorang seniman jika menginginkan capaian visual tertentu.

Proses belajar bukan perkara singkat, material untuk eksperimen juga memerlukan modal. Dari hal-hal ini terang bahwa sebuah karya seni seperti apapun itu telah mengandung nilai ekonomi di dalamnya. Belum ditambah keunikan visual yang akan dicapai oleh seniman dari konsistensinya belajar. Secara sederhana, karya seni rupa satu dengan lainnya dapat dibedakan dari capaian visual. Keteknisan tinggi hingga mampu berbeda dengan lainnya hanya dapat dicapai dari ketekunan proses belajar.

St. Oyik Eddy Prakoso di tengah pemaparannya tentang nilai ekonomi dalam karya seni. (Foto: Penulis)

Poin kedua adalah posisi seniman dalam medan seni rupa atau sejarah seni rupa. Bagian ini cukup kompleks dari poin sebelumnya. Terdapat berbagai unsur untuk dapat dijadikan pengukur dari poin ini seperti, peristiwa tertentu sebagai keberangkatan berkarya, peran seniman dalam masyarakat, dampak karya seni terhadap kemanusiaan dan hal lainnya di mana karya seni punya peran konkrit di kehidupan masyarakat. Serupa karya Arahmaiani sebelumnya, karya benderanya mampu mengaktivasi kegiatan-kegiatan masyarakat guna kepentingan bersama. Sehingga, selain nilai keteknisan peran konkrit karya seni dalam masyarakat turut memberikan khualitas nilai pengetahuan sebuah karya.

Kedua poin atau “nilai fundamental” itulah yang menurut Oyik mampu mengukur dan memberikan nilai ekonomi dari karya seni. Para kolektor karya seni munurut Oyik tetap akan mempertimbangan future value di balik rasa kekagumannya terhadap karya seni secara tulus. Hal ini wajar terjadi ketika mengingat nilai ekonomi karya seni yang cukup tinggi.

Meskipun begitu, Oyik dan tempat kerjanya yang berperan sebagai agen distributor karya seni tidak semena-mena mengutamakan kepentingan materil semata. Oyik memahami karya seni juga merupakan intellectual property maka begitu galeri sebagai agen distributor wajib menampilkannya di depan publik sebelum diprivatisasi oleh peminang. Galeri turut menyimpan peran dalam pembuatan wacana dari karya seni dan seniman yang ditampilkan dengan cara membuat buku, katalog, dan diskusi seni. Peran tersebut menurut Oyik menjadi pembeda antara galeri dan art space.

Suwarno Wisetrotomo (61), kurator senior sekaligus dosen ISI Yogyakarta, saat memberikan penutup di sarasehan ini dengan membicarakan tentang definisi nilai seni. (Foto: Penulis)

Arahmaiani dan Oyik telah sinkron membicarakan keterhubungan antara peristiwa dan ruang dalam nilai karya seni. Menyisakan nilai seni yang sengaja dibahas di akhir. Suwarno Wisetretomo, seorang akademisi, penulis, dan kurator seni berkesempatan mengisi penutup sarasehan dengan presentasinya tentang pembahasan nilai seni.

Suwarno lewat presentasinya mendefinisakan “nilai” sebagai daya atau juga khualitas dari suatu entitas. Sehingga nilai akan menentukan harkat dari sebuah entitas—dalam  hal ini adalah seni—untuk dapat disukai oleh seseorang. Seturut dengan Arahmaiani, Suwarno menggaris bawahi jika nilai tidak datang dari langit tapi ihwal yang perlu diperjuangkan. Nilai dipengaruhi oleh banyak pihak yang kemudian menentukan nasib dari entitas itu. Suwarno berpendapat, khualitas sebuah benda menentukan nilai tukar, namun nilai tukar tidak selalu ekonomi. seperti, karya seni yang lebih banyak bermuatan nilai pengetahuan akan lebih banyak bermuara pada museum-museum sebagai agen pengetahuan kepada masyarakat.

Peristiwa, ruang, dan nilai seni menjelma inti saling mempengaruhi. Ketiganya merupakan tahapan sebuah karya seni dapat bernilai dan memiliki fungsi dalam masyarakat. Nilai seni adalah pertaruhan seorang seniman demi memperjuangkan proses keseniannya. Besaran energi yang dicurahkan menjadi cerminan nilai di kemudian hari. (*)

Powered by
Supported by