Pesta Boneka #9 mengusung tema “Seeds of Hope” (Benih-Benih Harapan) yang telah berlangsung sejak 23 s.d 27 Oktober 2024 di Kampoeng Media, Yogyakarta. Sebagai satu-satunya International Biennale Puppet Festival di Indonesia, Pesta Boneka telah dihidupi oleh Papermoon Puppet Theatre sejak tahun 2008 secara mandiri dan gotong-royong.Pesta Boneka #9 menerima 96 proposal yang diajukan oleh seniman dan/atau kelompok yang berasal dari 36 negara di seluruh dunia. Setelah melalui proses kuratorial yang dinamis, Pesta Boneka menjadi rumah singgah bagi 120 seniman, 28 kelompok seni dari 25 negara untuk mempertunjukkan karya mereka. Jumlah yang sangat fantastis dan terbesar sepanjang sejarah Pesta Boneka.
Penyelenggaraan Pesta Boneka selama lima hari itu berisi pertunjukan, bincang-bincang, workshop, F&B, hingga memasak bersama yang tersebar di beberapa ruang, seperti Studio Theatre, Triangle Space, Bamboo Stage, Pule Theatre, Ruang Beo, Balai Theatre, Pool Theatre, hingga Picnic Spot. Pesta Boneka meramu ruang-ruang di Kampoeng Media menjadi ruang pertunjukan yang memiliki kekuatan spasialnya tersendiri.

Benih Harapan yang Telah Ditanam Sejak Awal
Jika kita kembali melihat ke masa lalu, pada masa di mana Maria Tri Sulistyani, atau yang akrab disapa Ria Papermoon, bersama Iwan Effendi—seorang perupa, pasangan dalam hal segala—mendirikan Papermoon Puppet Theatre pada tahun 2006. Ria dan Iwan mengawali pertunjukan Papermoon dengan mementaskan teater boneka untuk anak-anak, menggunakan boneka tangan yang dijahit dari bahan perca berkas dengan selimut yang membentang—untuk menutupi si pemain, sekaligus sebagai latar—pada sepetak halaman depan di sebuah rumah indekos.
Pada tahun 2006 itu pula, gempa melanda Yogyakarta. Papermoon merespons bencana ini dengan mengadakan pertunjukan teater boneka dari satu desa ke desa lain untuk menemani, menghibur dan berbagi dengan anak-anak kecil. Waktu berganti waktu, penjelajahan artistik dan medium yang terus diolah Papermoon membuat karya-karya mereka menjadi dekat dan bermakna bagi penonton.
Papermoon melepas beragam sekat, mereka bisa menciptakan ruang pertunjukan sendiri: warung kopi, kereta api, toko barang antik, pasar, galeri, dan lain-lain. Pertunjukan mereka pun perlahan-lahan mengalami perkembangan: menggunakan dialog antarboneka, bahasa gibberish (meracau), hingga nirkata sepenuhnya. Itulah mengapa pertunjukan-pertunjukan Papermoon seolah dapat ‘menyihir’ beragam usia, budaya, dan bahasa. Karena mereka menghilangkan sekat-sekat pemisah untuk benar-benar dekat dan bermakna bagi penonton.
Pada tahun 2008, Pesta Boneka pertama kali digelar. Papermoon merasa, ada keterbatasan ruang untuk para pelaku teater boneka, bahkan sulit sekali menemukan seniman atau kelompok seni yang dengan yakin menyebut diri mereka sebagai seniman teater boneka. Pesta Boneka selaras dengan napas pengaryaan Papermoon.
Oleh karena itu, format festival yang diusung Pesta Boneka menjadi pintu masuk untuk merayakan pertemuan para seniman, penonton hingga warga setempat dengan cara bergotong-royong. Para seniman yang berasal dari mancanegara itu bertemu untuk berbagi cerita, pengalaman dan perasaan mereka. Ibarat sebuah kebun, Pesta Boneka adalah kebun magis yang dirawat secara bersama-sama.

Kerja bakti dalam Pesta Boneka itu—seperti yang dikatakan Ria dalam salah satu refleksinya pada buku Selepas Napas (2020)—adalah pengingat sederhana bahwa kita semua adalah bagian dari warga dunia yang berbagi udara, air, dan tanah yang sama; bahwa kita hanyalah bagian kecil dari planet ini dan seharusnya bisa saling menjaga dan menyebarkan kebaikan. Maka, benih harapan itu telah ditanam sedari awal, sejak Papermoon terlahir dan melahirkan Pesta Boneka.
Papermoon selalu merespons beragam situasi melalui teater boneka dengan cara yang paling manusiawi. Di titik ini, barangkali, Pesta Boneka ingin menanamkan nilai-nilai harapan melalui tema “Seeds of Hope” itu. Karena dunia hari ini adalah dunia yang penuh kalibut. Sehari-hari kita melihat genosida di Palestina, ketidakadilan rasial hasil dogma kolonial yang terjadi di mana-mana, juga potensi pecahnya perang di depan mata, kerentanan generasi, hingga dehumanisasi. Dunia yang kian hari membuat kita bukan lagi mempertanyakan apa guna menjadi manusia? tetapi sudah sampai pada seperti apa rasanya menjadi manusia?
Papermoon seolah menjawab rasa cemas dan sakit itu melalui teater boneka, bahwa masih ada dan akan terus ada harapan untuk masa depan yang penuh kedamaian, penuh welas asih. Pengalaman reflektif itu, saya rasakan ketika menonton beragam pertunjukan di Pesta Boneka.

Tomte Sang Peri Bumi
Tomte, peri Bumi asal Swedia (berangkat dari mitologi Nordik) tinggal di dalam tanah. Sebagaimana peri, ia memiliki kepekaan luar biasa mengenai alam, termasuk entitas hidup di dalamnya; hewan dan manusia.
Sebagai pertunjukan pembuka Pesta Boneka #9 yang dipentaskan di Studio Theatre, Tomte dibuat sekaligus dimainkan langsung oleh Tom Lee, seorang seniman boneka, desainer, dan sutradara yang berbasis di Chicago. Ia tumbuh di Hawai, dan belajar tentang boneka tradisional di Jepang.
Di awal pertunjukan, kita telah melihat sekotak layar putih yang menjadi titik fokus pancaran dari proyektor OHP (Overhead Projector) buatan Lee yang menampilkan adegan pembuka yang sangat filmis sekali. Suasana salju, riuh angin malam yang bergemuruh melalui mulut Lee, seutas nyanyian latar yang merdu. Lantas tampak sebuah desa kecil di tengah hutan dalam malam musim dingin.
Kita langsung mendengar narasi yang indah sekaligus memikat untuk mengajak kita masuk ke alam imajinasi; seperti suara dongeng yang dibacakan sewaktu tidur. Sang narator, Lisa Gonzales, suaranya yang menggema bersilang-saling menjadi suara narasi sekaligus suara Tomte, narasi itu berkelindan dengan permainan Lee pada tokoh-tokoh kertas yang dimainkan di layar OHPnya.
Alkisah, Tomte mengunjungi sebuah peternakan keluarga, tempat para hewan yang tengah resah menjalani malam musim dingin. Tomte datang untuk menjaga sekaligus menenangkan hewan-hewan yang ada di peternakan itu dengan mengelus, mendendang, dan memberi mereka makanan. Suara hewan-hewan itu: sapi ternak, kuda, anak-anak domba, seekor ayam, dan anjing penjaga disuarakan dengan amat piawai oleh Tom Lee. Khusus untuk suara seekor kucing, Tom Lee meminta bantuan anaknya, yakni Solvej Lee.
Setelah mengunjungi peternakan, Tomte berjalan mengendap melihat keluarga yang tengah tertidur lelap itu. Perbuatan Tomte adalah perilaku welas asih—kasih sayang—ia menjaga peternakan dengan setulus hati. Tomte adalah gnome, yang lebih dekat pemaknaannya sebagai peri Bumi yang mendampingi Santa Claus.

Seusai menjaga peternakan dan keluarga itu, Tomte kembali ke rumahnya di antara rimbun pohon dan akar untuk menjalankan sebuah misi: “Operation Bring Spring”, Tomte lantas membuat helikopter yang dapat menerbangkannya ke langit agar ia dapat mendatangkan musim semi; musim di mana bunga-bunga tumbuh dan mekar kembali, musim di mana para hewan ternak tidak takut lagi. Lee sebagai narator pun menghilang sesaat di balik sekotak layar putih itu, ia memotong layar putih itu seukuran kubus kecil, dan kita dapat melihat Tomte secara langsung!
Ia terbang dengan asap helikopter yang seolah dapat menghentikan musim dingin dengan keajaibannya, layar putih itu pun turun, dan menampilkan sebidang tanah hijau dengan rumah mungil di tengahnya. Tomte bergerak perlahan, melihat satu-persatu wajah penonton, dan membagikan bunga-bunga kepada anak-anak, menandakan musim semi telah tiba, harapan telah hadir kembali. Sebelum berpamitan, Tomte melambaikan tangan kepada kita semua, ia kembali ke bumi, menjaga alam dengan caranya sendiri.

Pertunjukan Tom Lee adalah contoh sederhana dari keajaiban teater boneka yang diramu dengan sangat baik. Penceritaan yang sempurna, teknologi yang membangkitkan imajinasi, kepiawaian menirukan suara alam dan hewan, hingga pesan yang disampaikan. Tomte, sebagai peri Bumi, mahluk mitologis yang barangkali cukup jauh dalam bentangan geografis dan cerita-cerita mitologi dengan kita di Indonesia ini, namun memiliki pesan yang dapat dimengerti, pesan universal yang memberikan kita akan pentingnya merawat dan mencintai sekitar tanpa pamrih. Perilaku welas asih yang tidak dilihat oleh siapapun, namun terasa dampaknya. Pesan yang menggunakan bahasa cerita, bahasa yang dapat dimengerti oleh siapa saja.
Metafora, Metamorphosis Objek
Keesokan harinya, 24 Oktober 2024, di Studio Theatre, para penonton telah memadati ruangan untuk bersiap-siap melihat pertunjukan dari Bernd Ogrodnik dengan judul pertunjukan “Metamorphosis”. Sebuah koper besar terlihat di atas panggung, dan di atasnya tampak boneka kecil, yang pada mulanya kita pikir Bernd akan memainkan boneka kecil itu. Namun, ternyata tidak! Ia menyerahkan boneka kecil itu kepada pembawa acara. Siapakah boneka kecil itu? Kita akan menemukan jawabannya nanti.

Metamorphosis karya Bernd adalah sekumpulan cerita pendek yang dituturkan tidak menggunakan kata-kata, melainkan menggunakan kemagisan boneka dan metafora tubuh puppeteer. Bernd meramu Metamorphosis menjadi pertunjukan teater boneka-objek dengan durasi singkat, tetapi penuh dan utuh. Pertunjukan yang berdurasi lebih dari satu jam itu pun, menampilkan beragam pertunjukan singkat yang benar-benar magis dan metaforis.
Dalam Metamorphosis, penonton diajak benar-benar untuk berkembang. Citraan dan penceritaan yang dibawakan Bernd, berangkat dari material dan teknik sederhana hingga yang sangat rumit sekali. Mula-mula kita melihat interaksi antara boneka marionet kayu dengan sang puppeteer yang tengah bermain-main, keliahain dan kepiawaian tangan Bernd menciptakan suatu metafora tubuh: jari-jarinya itu pun juga bisa menjadi ‘boneka’! Bahkan hanya dengan selembar kain sutera, tangannya itu pun bisa berubah menjadi sosok nenek tua yang tengah mencoba beragam macam ramuan.
Kisah-kisah yang dibawakan Bernd, mulai dari yang sederhana hingga yang filosofis sekali. Kita bisa lihat misalnya bagaimana seorang anak laki-laki yang terbaring di kamar tidurnya, memimpikan agar mainan kudanya itu hidup; dan dalam pertunjukan ini, kuda itu benar-benar hidup! Bisa terbang mengitari langit-langit kamar bersama si anak lelaki. Sampai pada karakter yang dibuat oleh Bernd sebagai “ibu bumi” yang mencintai kedamaian dengan kasih sayangnya.
Pertunjukan Bernd menghadirkan gelak tawa dan perenungan sekaligus, boneka-boneka dan tubuh yang puitis, tanpa kata-kata, tetapi kita memahaminya, mengamininya. Bernd pada sesi diskusi bercerita bagaimana boneka-boneka itu muncul dari imajinasi dan realitas hidupnya. Ia pernah mengalami masa-masa sulit, saat keluarganya terdampak Perang Dunia II, ia juga bercerita bahwa dirinya adalah seorang ayah dan kakek, ia merasa mengalami momen puitis saat mengingat kembali bagaimana anak dan cucunya mulai bisa berjalan. Boneka “ibu bumi” yang ia ciptakan itu, berangkat dari mimpinya, yang terkesan sureal, tetapi terus membekas dalam ingatannya.
Bernd, dengan pengalaman dan perasaannya menangkap banyak momen dalam hidupnya itu, terkadang beberapa cerita dan imajinasi akan boneka ia biarkan melesap dalam dirinya, agar sewaktu-waktu bangkit kembali dan hadir pada momen-momen yang tepat. Bernd merasa beruntung dapat bertemu dengan kita semua, berkat boneka. Berkat kebaikan-kebaikan orang-orang di sekelilingnya.

Terakhir, ia berpesan agar kita memutus lingkaran keburukan, kita hanya perlu lakukan apapun yang kita sukai, yang berarti bagi kita. Dunia yang penuh kalibut akhir-akhir ini, Bernd menganggap karena kita tidak saling mendengar dan bergerak hanya berdasarkan ego kita, sehingga kita terus melakukan keburukan, kejahatan yang tak henti-henti.
Oleh karena itu, apa yang ditanamkan Bernd, di hati para penonton, adalah upayanya untuk menanam nilai-nilai yang pernah ia alami, nilai-nilai yang membuat kita menjadi manusia, terus bermetarmofosis menuju kebaikan. Kepuitisan Bernd melalui boneka-bonekanya, benar-benar menyentuh hati penonton.
Adalah Aladdin, boneka kecil yang dititipkan pada pembawa acara di awal pertunjukan tadi, seri pertunjukan Bernd yang lain. Aladdin menemani Bernd berpetualang menjelajahi keajaiban boneka-boneka di berbagai negara.

Boneka yang Melintasi Ruang dan Waktu
Di hari terakhir, Magica Mamejika, kelompok seni yang berbasis di Osaka, Jepang, menampilkan pertunjukan Tasogare Mononoke House. Pertunjukan itu memadukan tradisi wayang kulit Indonesia dengan kisah sureal Jepang.
Bagai menonton pagelaran wayang di desa-desa, suasana kampung kembali terasa. Penonton memenuhi Picnic Spot yang berada di alam terbuka, tikar telah tergelar. Dengan syahdu dan intim dalam gelap malam, mata penonton tertuju pada sebuah panggung sederhana, kelir layar menampilkan wayang remaja laki-laki yang bosan karena keluarganya bekerja di tengah liburan musim panas.
Kebosanan itu mengantarkan ia mengikuti tradisi Obon. Suatu tradisi Jepang untuk menyambut arwah leluhur dan memberikan persembahan kepada mereka. Remaja laki-laki itu pun mengikuti parade tarian Bon-Odori, dan tanpa disadarinya ia telah berpindah ke dunia lain, ia mengalami isekai.
Permainan wayang dimainkan dengan amat apik oleh dalang Nanang Ananto Wicaksono yang saling merespons dengan narasi Ilbong yang sepenuhnya menggunakan bahasa Jepang, seolah ada dua dalang di sini. Nanag sebagai penggerak wayang, dan Ilbong sebagai narator. Ilbong juga mengatur komposisi bebunyian dan visual yang terpancar dari benda-benda domestik. Objek-objek rumahan itu pun ternyata memiliki fungsi yang lain; fungsi performatif. Sedangkan musik dimainkan oleh Yuri Nishida yang memainkan gamelan, Taisuke Enami sebagai musisi yang merespons beragam instrumen, juga Hiromi Arasaki sebagai pianis.

Parade Bon-Odori yang membawa remaja lelaki itu ke dunia lain, mempertemukan ia dengan rumah kakeknya. Di dalam rumah itu, kita bisa melihat barang-barang rumah tangga yang kesurupan menjadi Mononoke (hantu). Wayang-wayang berbentuk teko, televisi, dan objek rumahan lainnya mempunyai wajah menyeramkan, membuat remaja lelaki itu gemetar takut.
Namun, barang-barang tersebut ternyata menyimpan memori almarhum kakeknya, yang membuat si remaja lelaki mengetahui betapa besar cinta kakeknya kepada dirinya itu. Perjalanan sureal ke dunia isekai itu membuat si remaja lelaki mengalami proses coming of age. Kata Tasogare yang berarti “siapa kamu?” adalah upaya menjawab identitas diri dan memaknai perjalanan di usia muda yang dialami oleh si remaja lelaki.
Setelah pertunjukan Magica Mamejika, para penonton diajak untuk mengikuti kelompok itu yang memainkan beragam instrumen untuk berpindah dari Picnic Spot ke Pool Theatre. Di sana, BRAT, kelompok seni pertunjukan dari Italia telah bersiap menampilkan Nunc.
BRAT adalah kolektif seni asal Italia, pertunjukan ini disutradarai oleh Caludio Colombo, dengan para pemain Pier Lorenzo Pisano, Agata Garbuio, Michele Guidi, Claudia Manuelli, dan Paolo Tosin.
Pool Theatre bagi saya memiliki spasialitas ruang yang memukau, ruang itu sebenarnya sebuah kolam renang yang tidak digunakan lagi, Pesta Boneka menyulapnya menjadi panggung pertunjukan. Dari kejauhan, kita samar-samar telah melihat hamparan sekam berwarna kuning kecokelat-cokelatan.
Seseorang dengan tudung dan pakaian hitamnya memainkan musik yang membuat gema distorsi; melalui gema itu pula penonton memahami alur waktu yang berloncatan dalam pertunjukan. Di panggung, tampak tiga karakter yang menggunakan topeng dan kostum dengan ekspresi dan warna yang sama. Tubuh mereka pun juga mengalami hal yang sama, merasakan lapar, mencari makanan, hingga menemukan mesin industri.

Ketiga karakter itu bisa dibilang sebagai perlintasan material dan dimensional yang mengandung paradoks evolusi juga revolusi. Perlintasan itu mempertemukan ciri karakter awal dari mahluk hidup, yakni bertahan hidup dengan cara berburu. Namun, bukan hewan yang menjadi buruan, melainkan biji-biji jagung yang tersebar di tanah.
Mereka mencoba-coba memasak biji-biji jagung itu, baik dengan cara tradisional, hingga mencapai industri modern yang benar-benar ditampilkan dalam wujud microwave. Rasa lapar yang membuat mereka menemukan cara memasak.
Permasalahan pun timbul, biji-biji jagung perlahan susah ditemukan, tetapi mereka semakin lapar; semakin rakus menyantap segala. Gerak-gerik awal mereka sebagai suatu organisme yang bergerak secara kolektif, perlahan menjadi individual, hanya memikirkan perut sendiri.
Pertunjukan Nunc, dengan cara yang sureal, lucu, sekaligus kritis, menggambarkan bagaimana perjalanan historis kita sebagai manusia yang penuh dengan rasa egois. Pesan yang disampaikan melalui teater tubuh dan topeng itu benar-benar menyentuh sanubari. Sebagai pertunjukan penutup Pesta Boneka, Nunc juga menanamkan benih-benih harapan, bahwa kita perlu untuk saling berbagi dan peduli.

Ritual Melingkar
Seperti yang Ria sampaikan, bahwa “Seeds of Hope” adalah proses pertukar-silangan benih-benih harapan yang didapat di sini, untuk kemudian dibawa pulang ke negara masing-masing. Benih-benih itu, suatu saat pasti akan tumbuh dan bermekaran menjadi harapan yang lain. Suatu proses diseminasi yang bekerja dalam tataran alam bawah sadar. Barangkali lebih efektif, dari penyebaran benih melalui angin.
Persis setelah pertunjukan Nunc selesai, Ria memanggil teman-teman seniman yang hadir untuk melakukan ritual ala Papermoon, duduk melingkar dengan tangan yang saling bergandengan. Kita tahu, Pesta Boneka ke-sepuluh akan menjadi momentum yang luar biasa ditunggu, sebagai platform internasional, Pesta Boneka sejalan dengan ‘biennale’ progresif (dalam konteks seni rupa Indonesia) yang memasukkan unsur-unsur kekolektifan, semangat bersolidaritas, hingga membaca kembali ‘peta dunia’.
Papermoon Puppet Theatre melalui platform-nya, Pesta Boneka dan Gulali Festival, semisal, membuktikan kepada kita bagaimana kemandirian sekaligus siasat kolektif bekerja. Jika dahulu, Papermoon seolah mencari-cari ruang alternatif untuk teater boneka dan ruang kepenontonan untuk anak-anak, kini mereka telah sampai pada menciptakan ekosistem kreatif teater boneka yang kaya akan pertemuan, pembelajaran, dan pengalaman yang berharga. Suatu jalan panjang yang tak mudah, tapi perlu untuk diwujudkan.
Di titik ini, kita boleh percaya, boneka lebih kuat daripada senjata…
Yogyakarta, 2024.