Belum lama ini dunia arkeologi kembali menyita perhatian publik setelah gabungan tim peneliti dari Griffith University, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Southern University mempublikasikan temuan gambar cadas terbaru di jurnal Nature.
Gambar cadas yang diperkirakan berusia 51.200 tahun itu tersimpan abadi di Leang (gua) Karampuang, Desa Samangki, Simbang. Maros di Sulawesi Selatan. Di tahun 2019, masih di Kawasan karst Maros-Pangkep (dua kabupaten bertetangga), di tengah heningnya dunia akibat pandemi Covid 19, temuan gambar cadas yang kala itu diperkirakan paling tua di dunia dengan perkiraan 43.900 tahun tergambar di dinding gua Bulu Sipong 4 di Kelurahan Biraeng, Minasatene, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).
Gambar cadas di Bulu Sipong 4 itu melampaui imajinasi kita karena menunjukkan adanya adegan perburuan. Para peneliti menginterpretasikan jika adegan itu menunjukkan setengah manusia dan setengah hewan (therianthropes). “Di gua-gua lain itu hanya gambar telapak tangan atau babi saja, di sini itu gambarnya bercerita,” ucap Pak Amir, juru pelihara Bulu Sipong 4 ketika menjumpainya di tahun 2019 silam.

Kawasan Karst Maros-Pangkep
Sebagai warga yang tinggal di wilayah Pangkep, sejak bersekolah dari SD hingga tamat SMA, saya tidak pernah mengingat adanya mata pelajaran mengenai kawasan karst. Bertahun-tahun kemudian, rupanya yang disebut kawasan karst itu adalah julangan gunung-gunung batu. Astaga! Bukankah itu pemandangan yang saban hari saya tatap. Menjadi inspirasi spontan ketika guru di masa sekolah dasar meminta kami menggambar, lengkap dengan bentangan persawahan, juga matahari di selah dua puncak gunung.
Baik di Maros atau di Pangkep, masing-masing telah memiliki kawasan taman prasejarah sejak dekade 80-an. Jika di Maros ada Taman Prasejarah Leang-Leang, maka di Pangkep terdapat Taman Prasejarah Sumpang Bita. Malah, di Pangkep ada juga kawasan gua-gua prasejarah yang berada di Kampung Belae.
Di semua situs itu semuanya terdapat gambar cadas berusia ribuan tahun, akan tetapi, ingatan tentangnya bukanlah keberadaan gambar itu, seingat saya ketika masih SMP, kawasan Sumpang Bita atau geosite di Kampung Belae hanyalah tempat bolos paling aman karena mustahil guru-guru kami datang mencari. Itulah mengapa terdapat banyak coretan tambahan di sejumlah fasilitas seperti di gazebo, malah kejahilan tangan anak-anak yang membolos sampai mencoreti area situs. Sungguh, kala itu kami tidak tahu jika tindakan tersebut merusak area situs. Impresi yang muncul hanya ingin mengespresikan diri dengan menuliskan nama di dinding gua sebagai penanda kalau kami pernah ke situ.

Mengapa hal itu terjadi, sekelumit pertanyaan ini membutuhkan telusur waktu yang nampaknya masih juga dialami anak-anak sekolah masa sekarang. Kurikulum boleh berganti, tetapi penjelasan mengenai situs-situs itu tidak pernah diajarkan, justru kami anak-anak sekolah di kawasan karst Maros-Pangkep lebih mengenal situs candi yang ada di Jawa meski tidak pernah melihatnya secara langsung.
Pada Agustus tahun 2023 lalu, saya terlibat dalam pelaksanaan Makassar Biennale (MB) di Pangkep dan kami kedatangan Gandhi Eka, seniman komik dari Bandung yang akan menjalani residensi. Ia tinggal di Kampung Belae, kampung yang menyimpan puluhan gua-gua prasejarah.

Dalam proses residensinya, Gandhi bersama tim kerja MB di Pangkep melakukan lokakarya bertajuk: Mengenal Kampung Lewat Komik yang diperuntukkan bagi anak-anak sekolah dasar di Kampung Belae. Pihak sekolah mendukung kegiatan tersebut dengan memberi waktu luang kepada murid kelas 5 dan 6. Hasilnya, komik anak SD turut dipamerkan bersama karya Gandhi di kolong rumah informasi milik Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX (BPK Wilayah XIX) di Kampung Belae dan berlangsung selama sepuluh hari.
Dalam proses lokakarya Gandhi mengajukan pertanyaan mengenai keberadaan gua-gua yang ada di kampung mereka, jawaban anak-anak tentu mengetahui. Pertanyaan lanjutan kemudian mengenai gambar yang ada di gua. Jawabanya belum pernah melihat langsung meski salah satu SD di Kampung Belae hanya berjarak sepelemparan batu dengan salah satu gua.

Gandhi mengajukan pertanyaan lagi mengenai siapakah gerangan yang menggambar di gua itu. Dan, jawaban anak-anak SD spontan menyebut: “setan!”. Ada juga yang menyebut Pak Haeruddin, seorang juru pelihara gua di Kampung Belae, sisanya lagi malah menunjuk batang hitung Gandhi sendiri. Gandhi terperangah dengan jawaban itu sebelum tersenyum simpul.
Imajinasi mengenai adanya kehidupan manusia purba sekian ribu tahun lampau di kampung mereka rupanya tidak terlintas. Bahkan hal itu tidak tersampaikan di lembaga pendidikan formal milik pemerintah. Kampung Belae memiliki perpustakaan purba berisi artefak gambar cadas, justru keberadaannya luput dari anak-anak sekolah di kampung itu sendiri. Bahkan setelah ditetapkannya kurikulum merdeka, perhatian memasukkan gambar cadas dalam muatan lokal tidak menjadi prioritas. Jangankan prioritas, dipikirkan saja belum!

Setelah Regulasi Lalu Apa?
Chaidir Syam, Bupati Maros mengucapkan terima kasih yang tersiar di sejumlah media pasca rilis gambar cadas tertua di Leang Karampuang berada dalam wilayah administratif Maros. Ia menyebutkan jika temuan tersebut merupakan kado terindah untuk Kabupaten Maros yang tengah merayakan hari jadi ke 65.
Pada tahun 2014, ketika lukisan stensil tangan di Leang Timpuseng, juga di Kabupaten Maros ditetapkan sebagai yang tertua melebihi usia 37.300 tahun lukisan stensil tangan di El Castillo, Spanyol. Hatta Rahman, Bupati Maros kala itu mendorong adanya Perda sebagai legitimasi hukum dalam melestarikan dan melindungi kawasan situs.

Setali tiga uang, tindakan serupa juga dilakukan atas keberadaan situs Bulu Sipong 4 di mana wilayah tersebut masuk dalam konsesi PT Semen Tonasa di Pangkep, melalui perjanjian dengan Kemendikbud pada 2018 tersepakati area bukit kapur di mana Bulu Sipong dan tujuh situs gua lainnya di bukit itu dikelola oleh PT Semen Tonasa sebagai bagian dari rehabilitasi lingkungan bekas tambang melalui Taman Kehati.
Selama sebulan menjalani residensi, Gandhi telah mengunjungi 17 gua termasuk Leang-Leang di Maros. Jika ada yang disayangkan, hal itu mungkin karena tidak bisa mengunjungi Bulu Sipong 4, secara formal ada lapisan persuratan yang harus dilalui. Ia juga menyimpan sedikit kekecawaan ketika tim kerja MB di Pangkep telah mengupayakan berjumpa dengan pihak BPK Wilayah XIX, berharap Gandhi dapat ikut dalam monitoring rutin yang dilakukan, tetapi izin ke sana telah terpenuhi dengan kuota orang yang telah ditetapkan dan perlu pengajuan izin ulang ke pihak Taman Kehati PT Semen Tonasa.

Draf komik bertajuk Tamasya Purbakala sempat dipamerkan selama 16 hari di Pangkep. Komik itulah yang menjadi warisan yang ditinggalkan Gandhi. Selanjutnya tim kerja MB di Pangkep sejauh ini terus mengupayakan agar komik yang telah terbit itu menjadi bahan dasar adanya muatan lokal terkait kawasan karst berserta tinggalan gambar cadas.
Kami menganggap jika setua apa pun temuan gambar cadas di kawasan karst Maros-Pangkep hanya akan berakhir sebagai keangkuhan penelitian para arkeolog -yang nyatanya didominasi dan dilegitimasi oleh penelitian arkeologi kulit putih-, narasi yang terus didengungkan mengenai usianya mengalahkan temuan gambar di Eropa. Jika hanya ingin banding-bandingan usia saja, lantas apa gunanya jika warga yang hidup di sekitaran kawasan karst tidak memahami arti dari usia itu.

Dengan adanya Perda perlindungan maka lahir pula sejumlah larangan, imbauan larangan tentu saja tidak efektif jika tidak ada edukasi. Dan, sebaik-baiknya advokasi dalam menumbuhkan kesadaran, menurut saya harus melalui pendidikan, versi formal bisa lewat pintu sekolah sebagai mata pelajaran. Paling tidak generasi muda dari tempatnya berasal, mengenal itu sebagai ingatan yang begitu dekat. Bukankah edukasi massif situs Maros-Pangkep turut berpotensi melengkapi agenda panjang dekolonisasi pengetahuan bagi pembacaan sejarah dunia?
Seperti yang dituliskan Anwar Jimpe Rachman, Direktur Makassar Biennale di pengantar komik: Kami berharap, terbitnya komik Tamasya Purbakala karya Gandhi Eka ini menjelma sebagai laku menyemai bibit yang bisa menumbuhkan banyak hal, termasuk mencegah generasi-generasi yang mendatang tidak sampai “membakar lumbung sendiri”. Kalau tidak, nasib kita memang ditakdirkan tak akan pernah berubah, laksana patung sak semen di pusat Kota Pangkajene (ibu kota Pangkep) yang terbuat dari semen. Dari semen tetap menjadi bongkah semen.
***